Ada dua pertanyaan yang wajib disediakan jawabannya jika seseorang ingin menggeluti atau kuliah di filsafat. Pertanyaan pertama, filsafat itu belajar apa sich? Kedua, lulusan filsafat itu nanti kerja di mana?
Dua pertanyaan ini sudah sangat familiar di telinga mahasiswa/calon mahasiswa filsafat, orang-orang yang selalu berbicara dan menulis tentang filsafat, mereka yang suka mengkaji hal-hal berbau filsafat, apalagi bagi mereka ahli filsafat (filsuf).
Untuk menjawabnya, ada dua tipe manusia yang menonjol. Tipe pertama, tipe skeptis. Makhluk yang menganut tipe ini cenderung bingung bahkan menolak untuk menjawab. Bagi yang sedang belajar, suka, terbiasa dan pandai bergelit – kalau soal yang satu ini bisa jadi mereka ahlinya – mereka mencoba cari-cari alasan lain untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Jika sudah terlanjur ditanyakan, dalam hatinya akan muncul sebuah pernyataan jujur dan polos: “jangankan ‘elu, gue aja bingung”. Jika ini yang terjadi, bisa jadi ia berpikir ulang untuk mendaftar di jurusan filsafat, tidak serius untuk kuliah, mencoba cari jurusan lain dan berusaha transfer jurusan.
Ujung-ujungnya, tipe skeptis ini biasanya berakhir pada dua golongan. Golongan pertama, jika masih kuliah di filsafat meskipun ia sendiri meragukan nasibnya belajar filsafat, kemungkinan besar ia akan “gila”. Golongan kedua, untuk menghargai konsistensinya untuk tetap belajar filsafat ia akan mendapatkan anugerah gelar MA (Mahasiswa Abadi), tanpa perlu lulus kuliah (karena memang itu hal yang mustahil).
Dua golongan ini memiliki persamaam dan perbedaan. Kita mulai dari perbedaannya dulu. Golongan pertama, kuliahnya cepat. Cepat bukan karena sudah menyelesaikan jumlah SKS dan menyusun skripsi tapi karena sudah dijemput orang tua dan sanak saudaranya di kampus agar tidak betah menjadi orang “gila”. Golongan kedua, biasanya memegang teguh prinsip “Rumahku adalah Surgaku”. Prinsip ini sedikit ia ubah menjadi “Kampusku adalah Surgaku”.
Karena kampus sudah dianggapnya surga, prinsip ini akan beralih menjadi “Kampusku adalah Rumahku”. Dari subuh, pagi, siang, sore, malam sampai subuh dan pagi lagi ia tetap betah di kampus. So, makan, minum, tidur, sampai buang air di kampus. Kantin akan jadi dapurnya (makan gak pake bayar), lab komputer akan jadi warnetnya (sering malakin petugas lab, bukannya dia yang bayar karena berlama-lama di lab), perpustakaan jadi tempat mangkalnya, tempat parkir jadi mata pencahariannya (sering minta-minta uang dengan alasan jagain mobil dan motor), sekretariat tempat orasinya (suka teriak-teriak dan marah-marahin petugas sekretariat karena tidak pernah bayar SPP, protes karena nilainya paling tinggi C, jumlah SKS selalu kurang dari 10 SKS, dll), dosen-dosen kadang jadi lawan kadang jadi kawannya, mahasiswa seangkatan tidak ada yang suka kecuali sama-sama “gila”, mahasiswa baru jadi babunya dan lain sebagainya.
Satu-satunya persamaan kedua golongan ini adalah sama-sama “gila”.
Tipe kedua adalah tipe ainul yakin. Tak diragukan lagi, makhluk tipe ini sangat pandai beretorika. Kedua pertanyaan ini malah dianggapnya sebagai kail pancingan yang secara tidak sadar membuat orang yang bertanya mencari sendiri umpan cacing untuk diikatkan pada batang bambu otaknya. Artinya, pertanyaan tadi dianggap tak ubahnya sebagai pintu masuk yang lebih tepat disebut jurang bagi orang-orang yang paham filsafat, namun dianggap lelucon bagi orang awam (Itulah uniknya filsafat, selalu dianggap jurang yang selain menantang tapi juga menjebak bagi yang paham filsafat, dan dianggap lelucon bagi orang biasa).
Karena ahli beretorika, maka tipe ini pandai mengubrak-abrik dan membalikkan pikiran lawan bicaranya sehingga tanpa sadar yang bertanya bukan lagi tertuju pada penting tidaknya belajar filsafat, tapi justru mulai merasakan nikmatnya berfilsafat. Jika tipe ini punya niat kurang baik, bukan tidak mungkin keyakinan lawan bicara atau penanya tadi yang malah digoyahkan. Yang lebih parah ia bisa menjerumuskannya pada agama mereka : ateis.
Tulisan aneh ini hadir untuk mengungkapkan ide-ide gila tentang filsafat, menjawab pertanyaan awam alasan orang filsafat itu gila, menjelaskan alasan kenapa orang filsafat wajib gila, menghibahkan kegilaan pada orang yang waras, mengubrak-abrik dunia yang waras agar ikut menjadi gila dan sebagainya.
bersambung-->
Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kemendagri
Dua pertanyaan ini sudah sangat familiar di telinga mahasiswa/calon mahasiswa filsafat, orang-orang yang selalu berbicara dan menulis tentang filsafat, mereka yang suka mengkaji hal-hal berbau filsafat, apalagi bagi mereka ahli filsafat (filsuf).
Untuk menjawabnya, ada dua tipe manusia yang menonjol. Tipe pertama, tipe skeptis. Makhluk yang menganut tipe ini cenderung bingung bahkan menolak untuk menjawab. Bagi yang sedang belajar, suka, terbiasa dan pandai bergelit – kalau soal yang satu ini bisa jadi mereka ahlinya – mereka mencoba cari-cari alasan lain untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Jika sudah terlanjur ditanyakan, dalam hatinya akan muncul sebuah pernyataan jujur dan polos: “jangankan ‘elu, gue aja bingung”. Jika ini yang terjadi, bisa jadi ia berpikir ulang untuk mendaftar di jurusan filsafat, tidak serius untuk kuliah, mencoba cari jurusan lain dan berusaha transfer jurusan.
Ujung-ujungnya, tipe skeptis ini biasanya berakhir pada dua golongan. Golongan pertama, jika masih kuliah di filsafat meskipun ia sendiri meragukan nasibnya belajar filsafat, kemungkinan besar ia akan “gila”. Golongan kedua, untuk menghargai konsistensinya untuk tetap belajar filsafat ia akan mendapatkan anugerah gelar MA (Mahasiswa Abadi), tanpa perlu lulus kuliah (karena memang itu hal yang mustahil).
Dua golongan ini memiliki persamaam dan perbedaan. Kita mulai dari perbedaannya dulu. Golongan pertama, kuliahnya cepat. Cepat bukan karena sudah menyelesaikan jumlah SKS dan menyusun skripsi tapi karena sudah dijemput orang tua dan sanak saudaranya di kampus agar tidak betah menjadi orang “gila”. Golongan kedua, biasanya memegang teguh prinsip “Rumahku adalah Surgaku”. Prinsip ini sedikit ia ubah menjadi “Kampusku adalah Surgaku”.
Karena kampus sudah dianggapnya surga, prinsip ini akan beralih menjadi “Kampusku adalah Rumahku”. Dari subuh, pagi, siang, sore, malam sampai subuh dan pagi lagi ia tetap betah di kampus. So, makan, minum, tidur, sampai buang air di kampus. Kantin akan jadi dapurnya (makan gak pake bayar), lab komputer akan jadi warnetnya (sering malakin petugas lab, bukannya dia yang bayar karena berlama-lama di lab), perpustakaan jadi tempat mangkalnya, tempat parkir jadi mata pencahariannya (sering minta-minta uang dengan alasan jagain mobil dan motor), sekretariat tempat orasinya (suka teriak-teriak dan marah-marahin petugas sekretariat karena tidak pernah bayar SPP, protes karena nilainya paling tinggi C, jumlah SKS selalu kurang dari 10 SKS, dll), dosen-dosen kadang jadi lawan kadang jadi kawannya, mahasiswa seangkatan tidak ada yang suka kecuali sama-sama “gila”, mahasiswa baru jadi babunya dan lain sebagainya.
Satu-satunya persamaan kedua golongan ini adalah sama-sama “gila”.
Tipe kedua adalah tipe ainul yakin. Tak diragukan lagi, makhluk tipe ini sangat pandai beretorika. Kedua pertanyaan ini malah dianggapnya sebagai kail pancingan yang secara tidak sadar membuat orang yang bertanya mencari sendiri umpan cacing untuk diikatkan pada batang bambu otaknya. Artinya, pertanyaan tadi dianggap tak ubahnya sebagai pintu masuk yang lebih tepat disebut jurang bagi orang-orang yang paham filsafat, namun dianggap lelucon bagi orang awam (Itulah uniknya filsafat, selalu dianggap jurang yang selain menantang tapi juga menjebak bagi yang paham filsafat, dan dianggap lelucon bagi orang biasa).
Karena ahli beretorika, maka tipe ini pandai mengubrak-abrik dan membalikkan pikiran lawan bicaranya sehingga tanpa sadar yang bertanya bukan lagi tertuju pada penting tidaknya belajar filsafat, tapi justru mulai merasakan nikmatnya berfilsafat. Jika tipe ini punya niat kurang baik, bukan tidak mungkin keyakinan lawan bicara atau penanya tadi yang malah digoyahkan. Yang lebih parah ia bisa menjerumuskannya pada agama mereka : ateis.
Tulisan aneh ini hadir untuk mengungkapkan ide-ide gila tentang filsafat, menjawab pertanyaan awam alasan orang filsafat itu gila, menjelaskan alasan kenapa orang filsafat wajib gila, menghibahkan kegilaan pada orang yang waras, mengubrak-abrik dunia yang waras agar ikut menjadi gila dan sebagainya.
bersambung-->
Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kemendagri
Ketika saya mencari tuhan, saya nyasar ke artikel ini, menginspirasi saya untuk menjadi gila...
BalasHapus